
Oh….Bumi Halmahera Timur
Rasanya, baru kemarin engkau bertambah usia.
Rasanya, baru kemarin kami bersenggama dengan kebahagiaan itu.
Rasanya baru kemarin, benih-benihku tumbuh dari sari-sari harumnya, sagu yang dimasak oleh ibu dikala itu.
Rasanya, baru kemarin kami saling sapa-menyapa menebar senyum yang tak dibuat-buat.
Rasanya, baru kemarin kami duduk bersama untuk memanen kopra.
Rasanya, baru kemarin kami duduk bersama untuk mengepul asap didapur.
Rasanya, baru kemarin kami ingin tahu kapan ikan berkunjung di lautan kami.
Oh….Bumi Halmahera Timur
Atas nama pembangunan.
Kini kebahagiaan berpuluh-puluh tahun lamanya, digantikan dengan kesakitan yang panjang.
Iya. Rasanya baru kemarin.
Tepatnya 31 Mei hari lahirnya Halmahera-Timur tercinta.
Dengan penuh-harap yang besar.
Tentu para leluhur menginginkan lahirnya engkau, menuju pada peradaban baru yang lebih baik.
Peradaban dimana manusianya, mampuh dan tetap kokoh mempertahankan budaya yang telah lama mendarah daging.
Oh…..Bumi Halmahera Timur
Namun, harapan itu sirna dengan lahirnya manusia-manusia baru.
Manusia yang memiliki kodrat melebihi isi perutnya.
Dengan begitu.
Amarah manusia mampuh merobek pegangan sejarah yang telah lama dibangun oleh leluhur kami.
Kini, manusia berbondong-bondong menuju pada kekuasaan.
Mereka belarian dengan kencang, untuk menyembah kursi penuh uang.
Oh…Bumi Halmahera Timur
Engkau dibangun, dengan polesan bahasa yang paling ampuh dan jitu yaitu demokrasi.
Engkau dibangun, dengan polesan bahasa kesejahteraan rakyat yang hampa.
Engkau dibangun, dengan polesan bahasa money politic dan banyak janji.
Maka, untuk menuju pada bahasa kekuasaan, harus perbanyak janji.
Oh….Bumi Halmahera-Timur betapa malang nasibmu.
Kemenangan palsu, demi menduduki kekuasaan yang rapuh.
Kemenangan palsu, demi menggenjot air mata sesama manusia.
Kemenangan palsu, demi memotong darah silaturrahhim sesama manusia.
Kemenang palsu, demi kekuasaan dan kalah bagi yang selalu benar dan berkata jujur.
Astaga….Engkau dibangun dengan pengetahuan yang dangkal!
Oh…Bumi Halmahera Timur
Atas nama ekonomi kerakyatan.
Sagu digantikan dengan beras yang bukan makanan kami.
Atas nama kesejahteraan rakyat.
Ikan bebas bermain di laut, kini digantikan dengan ikan yang dikurung didalam kaleng.
Atas nama kearifal lokal.
Budaya tarian lalayon, cokaiba dan cakalele dipentaskan dengan makna yang pendek.
Atas nama Kearifan lokal.
Budaya bertutur dan irama hidup kampung, secara telanjang menjelma menjadi budaya penjajahan.
Oh…..Bumi Halmahera Timur
Dengarlah!
Apakah ini yang dinamakan demokrasi?
Apakah ini yang dinamakan pembangunan?
Apakah…. ini yang dinamakan kemajuan ekonomi kerakyatan itu!
Oh…sungguh malang nasibmu.
Amanahmu dikhianati oleh anak buyutmu sendiri.
Oh….Bumi Halmahera Timur
Sayang sekali politik itu buta.
Tidak bisa melihat betapa kosong kering kerontang perut si miskin.
Sayang sekali politik itu mati rasa.
Tidak bisa merasakan, betapa perihnya pulau-pulau dan tanah dikupasi, dikuliti, dikeruk, secara habis-habisan.
Akhirnya si rampok pun ikut berceloteh.
Jangan hanya tanah tetapi rampoklah jasad mereka.
Jangan hanya air tetapi rampoklah hati mereka.
Jangan cuman sejarah dan budaya tetapi masuk lebih dalam lagi dan rampoklah qalbu mereka.
Haha…haha sungguh peradaban yang serba palsu dan lucu!
.Oh…Bumi Halmahera Timur
Dengarlah!
Sayang sekali politik itu bisu.
Tidak bisa mengatakan mana bau mana harum, mana kotor mana bersih dan mana yang benar dan mana yang salah!
Sayang sekali politik itu tuli.
Tidak bisa mendengar suara rakyat,
Tidak bisa mendengar teriakan cacing-caing meminta makanan dari perut si kaya.
Sayang sekali politik itu angkuh.
Ia tak mengenal leluhur kami.
Ia tak bisa mendengar nasehat leluhur kami.
Bahwa masa depan adalah bencana!
Bencana bagi yang melupakan sejarah.
Hey…..Camkan!
Bahwa politik hanya mengenal mana lawan mana kawan, mana kalah mana menang.
Astaga…masa depan yang mati!
Masa depan yang retak.
Masa depan yang terbelah.
Masa depan melayani hasrat yang tak ada ujungnya.
Iya. Penciptaan masa depan sejarah bunuh diri, diatas tanah leluhur sendiri!
Dasar peradaban yang dangkal!
Bogor, 3 Juni 2016, Karya Orang Biasa.